Rabu, 28 Maret 2012

Insiden Santa Cruz

☆ Insiden Santa Cruz dan berakhirnya karier Sintong ☆

Memasuki dasawarsa 1990-an, nampak Soeharto mulai cemas terhadap loyalis tentara. Sidang Umur MPR 1988 diwarnai interupsi oleh Fraksi ABRI. Mereka menolak penetapan Sudharmono SH sebagai Wakil Presiden. Padahal ia favorit Soeharto. Kelihatannya, Fraksi ABRI lebih menyukai calonnya sendiri, waktu itu tidak ada yang lebuh mungkin dibandingkan Jenderal LB Moerdani.

Loyalitas adalah hal yang dicemaskan Soeharto. Soeharto paham betul bagaimana tentara melakukan insubordinasi secara diam-diam terhadap penguasa. Sebab ia berpengalaman melakukannya, dari tahun 1965 sampai 1967. Karena itu, ia menyiapkan langkah-langkah khusus untuk melindungi dirinya. Jika Soeharto pada Tahun 1960-an mencoba menyeimbangkan kekuatan AD, PKI dan dirinya sendiri; maka pada awal dekade 90-an Soeharto mencoba menyusun keseimbangan antara AD, Islam dan dirinya sendiri.

Jika tidak dikendalikan, tentara akan berkembang sebagai kekuasaan tersendiri yang bisa merepotkan kekuasaan. Untuk mengeliminasinya, Soeharto melirik pada potensi Islam. Gerakan Islam modernis yang sedang bangkit di perkotaan, adalah momentum yang ingin dimanfaatkan oleh Soeharto. Setelah kecewa dengan CSIS, Soeharto pun mendukung prakarsa pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Gagasan tentang ICMI itu sendiri sebenarnya kontroversial. Sebab membawa kaum intelektual ke ranah sektarian. tapi di awal tahun 1990-an, upaya itu disambut hangat. Soeharto memberikan dukungannya. Tapi kelihatannya, sebagian perwira ABRI tidak begitu menyukai kehadiran ICMI. Tapi ada pula yang menyatakan dukungan dengan tidak terlalu mencolok di depan publik.

☆ De-Benny-isasi

Di sekeliling dirinya, Soeharto menempatkan jenderal-jenderal yang dia yakin loyal kepadanya. Upaya-upaya dilakukan untuk mengikis pengaruh Benny Moerdani di ABRI, khususnya di kalangan perwira aktif.

Terkait dengan gerakan de-Benny-isasi, Sintong menyimpulkan bahwa dalam ABRI ternyata ada tiga kelompok yang diperlakukan secara berbeda. Pertama ialah mereka yang dekat dengan Soeharto; kedua ialah mereka yang biasa saja; sedangkan ketiga ialah mereka yang masuk kelompok LB Moerdani, atau kelompok yang kurang dipercaya oleh Soeharto.

Apabila kelompok pertama membuat kesalahan, mereka selalu dilindungi. Jika kelompok dua berbuat kesalahan, fifty-fifty. Namun, jika kelompok tiga  membuat kesalahan, "tiada maaf bagimu." Sebagai tindak lanjut gerakan "de-Benny-isasi", orang-orang dekat LB Moerdani banyak yang tersingkir atau mendapat kartu mati. Luhut dan Sintong digolongkan sebagai anak emas LB Moerdani. Namun menurut pengakuan Luhut, hubungan antara Luhut dengan LB Moerdani tidak lain hanya atas dasar pertimbangan profesionalisme. Sintong juga mengutarakan hal yang serupa. Ia tidak pernah masuk dalam kelompok di lingkungan ABRI, tetapi sebagian kalangan memasukan dirinya dalam kelompok LB Moerdani. Menurut Sintong, ia mencapai pangkat tinggi bukan karena LB Moerdani. Bukan pula LB Moerdani yang membuat Sintong terkenal. "Tetapi tugas operasi antiteror di Don Muang, Bangkok, dapat saya laksanakan dengan baik, sehingga nama Pak Benny juga terangkat. Jangan dibalik!" tegasnya. (Seperti dikutip dari buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, halaman 464-466)

Ketidakberdayaan Try Sutrisno membersihkan pendukung Benny Moerdani telah membuat Soeharto kecewa. Jenderal Try memang bukan orang Benny, tapi juga bukan orang yang berseberangan frontral dengan Benny. dia menampakan independensinya, dan cukup loyal terhadap Soeharto.

Bagi kelompok Prabowo cs, kinerja Try Sutrisno dianggap mengecewakan. Menurut Kivlan Zen, Jenderal Try Sutrisno tidak berdaya dan tetap mengangkat pendukung Benny Moerdani pada jabatan strategis, seperti Letjen Harsudiono Hartas sebagai Kassospol, Letjen Sahala Rajagukguk untuk jabatan Wakasad, dan ia tidak menaikkan perwira yang dekat dengan Prabowo.

Soeharto kurang percaya pada Jenderal Edi Sudradjat, karena hasil seminar TNI-AD tahun 1990 merekomendasikan pergantian pimpinan nasional mulai lurah ke atas. "Keberanian" pihak tentara untuk membicarakan masalah kepemimpinan nasional menular ke kalangan sipil. Pada dekade 90-an, isu suksesi kepemimpinan nasional mulai mengemuka. Presiden Soeharto semakin merasa gerah.

Musim haji 1991, seluruh keluarga besar Soeharto yang terdiri dari anak, menantu dan cucu, termasuk Letjen Wismoyo Arismunandar (ipar Soeharto, saat itu menjabat Pangkostrad). Orang dekat Soeharto semuanya tidak ada di Jakarta. Sementara itu Menhankam dijabat LB Moerdani, Panglima ABRI diduduki Jenderal Try Sutrisno, dan KSAD oleh Jenderal Edi Sudradjat. Kivlan Zen memunculkan pertanyaan penting: apakah Presiden Soeharto sedang menguji kesetiaan ketiga orang tersebut.

Ketakutan Prabowo muncul lagi. Dia khawatir, akan terjadi manuver dari musuh-musuh politik Presiden Soeharto. Sebelum turut berangkat ke tanah suci, Prabowo mengumpulkan rekan-rekannya untuk mengadakan brainsorming dan menyusun rencana mengatisipasi yang terburuk. Jika kemungkinan paling buruk terjadi, dia dan Letjen Wismoyo akan terbang ke tanah air dengan menggunakan private jet yang akan mendarat di Nusa Wungu, Cilacap.

Sekali lagi, kekhawatiran itu tidak terbukti. Namun itu bukan berarti upaya de-Benny-isasi berhenti. Diperkirakan Benny masih memiliki pengaruh. Dia sempat berusaha keras menggagalkan Munas ICMI. Benny Moerdani dikabarkan membenci BJ Habibie, karena yang bersangkutan menolak masuk CSIS (Center for Strategic and International Studies). Karena itu, kelompok Prabowo masih terus berusaha melawan pengaruh grup Benny.

De-Benny-isasi mulai memperoleh hasil efektif setelah terjadi Insiden Santa Cruz, 12 November 1991.

☆ Insiden Santa Cruz

Insiden Santa Cruz
Peristiwa tragis ini terjadi tanggal 12 November 1991 di pekuburan umum Santa Cruz, Dili. Ribuan warga Timor berunjuk rasa tepat dua pekan setelah kematian Sebastiao Gomez Rangel, pemuda Timor Leste yang di bunuh milisi prointegrasi di Gereja Motael, Dili. Jenasah Sebastiao akan di makamkan ulang di Santa Cruz dalam sebuah prosesi yang diperkirakan mengundang kerumunan massa luar biasa besar.

Allan Nairn, jurnalis Amerika Serikat yang saat itu ada di Dili menuturkan, "Seusai misa di gereja Motael, pemuda-pemuda Timor mengeluarkan spanduk dan poster dari balik baju mereka dan mulai bergerak ke arah pemakaman (baca Jejak Lama di Santa Cruz). Sekitar pukul delapan pagi, massa makin padat. Komandan Sektor C/Khusus Dili Kolonel Aruan memerintahkan pasukan Brigade Mobil menyekat massa dengan membentuk barikade di belakang demostran. Pasukan Indonesia terus bergerak maju, mendekati massa yang terkepung. Komandan Kompi Gabungan Letda Sugiman Mursanib berteriak memerintahkan pasukannya melepas tembakan peringatan ke udara. Mendadak serentetan tembakan terdengar. Massa di bagian belakang roboh. Sisanya bubar, tunggang langgang.

Demostrasi yang dilakukan dalam Peristiwa 12 November 1991 di Dili diyakini Sintong bukanlah demonstrasi biasa. Ada unsur pembrontakan terhadap pemerintah. Para demonstran di dapati membawa senjata api laras panjang, pistol, granat tangan, senjata tajam dan pentungan, selain bendera Fretilin maupun Falintil. Di sekitar pekuburan umum Santa Cruz ditemukan barang bukti berupa sepucuk senapan serbu Heckler & Koch G3 dengan delapan butir peluru, dua pucuk senapan Mauser dengan 13 butir peluru, sepucuk pistol FN dengan 12 butir peluru, sepucuk pistol Smith & Wesson dengan empat butir peluru, enam buah granat tangan, 26 bilah parang, 70 bilah pisau dan berbagai jenis senjata lainnya seperti tombak, kapak, sabit, dan pipa besi sebagai pentungan.

Meletusnya Insiden Santa Cruz tidak lepas dari kebijakan pemerintah Jakarta. Dalam analisinya, Sintong Panjaitan mengatakan bahwa semua ini tidak lepas dari kebijakan Presiden Soeharto. Keberhasilan operasi teritorial selama satu setengah tahun mendorong Presiden Soeharto memutuskan bahwa Timtim dinyatakan sebagai daerah terbuka, seperti 26 provinsi lainnya. Menurut Sintong, keputusan Soeharto pada tahun 1990 itu tergesa-gesa. Keputusan itu menimbulkan gejolak sosial yang mengarah kepada perpecahan di masyarakat. Membanjirnya pendatang di Timtim menimbulkan bibit pertentangan yang bersifat SARA. Di kalangan penduduk asli Timtim telah muncul perasaan tidak senang dengan kedatangan suku Makassar dan Bugis yang di anggap sebagai kelompok penghisap baru dan menghambat kehidupan ekonomi mereka. Para pendatang menguasai perdagangan sampai tingkat kecamatan. Kondisi sosial politik masyarakat Timor Timur saat itu mirip jerami kering yang siap dibakar.

☆ Sabotase oleh Kelompok Prabowo ? 

Mayjen Sintong Panjaitan tahu Peristiwa 12 November 1991 pada saat ia sedang bersama KSAD Jenderal Edi Sudrajat mengikuti rapat Akmil, Magelang. Esok harinya ia langsung terbang ke Dili untuk mengambil alih pimpinan. Bagi Sintong ini adalah titik balik dari karier militernya yang cemerlang. (Diberitakan Sintong kedepan akan mendapat tugas baru sebagai Asisten 2/operasi Panglima ABRI dalam buku Hendo Subroto, 2009, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, halaman 399).

Sintong merasa dalam Insiden 12 November di Dili, terdapat unsur sabotase. Menurut Sintong, "Memang benar ada orang-orang, mereka itu tentara juga, tetapi mereka berpakaian preman atau berpakaian seragam militer tidak teratur yang berada di luar komando, ikut menembak juga di situ." Keadaan orang-orang yang tidak di kenal itu, dibenarkan oleh Kolonel Binsar Aruan sebagai Komandan Sektor C berdasarkan masukan informasi tentang orang-orang tak dikenal yang berada di sekitar pekuburan umum Santa Cruz.

Dalam Laporan yang diliris April 2008, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste menemukan sejumlah kesaksian yang menyebutkan penembakan dilakukan oleh belasan prajurit dari Kompi A Batalyon 303. Menurut laporan itu, sejumlah tentara bertelanjang dada menembak dari dalam Taman Makam Pahlawan Seroja yang berseberangan dengan pekuburan Santa Cruz. Sintong mengaku tidak mengerti mengapa para prajurit itu ada di lokasi. Sebagian anggota batalyon itu sedang diistirahatkan dari operasi karena stres dan jenuh di hutan. Mengapa mereka ada di Santa Cruz?

Dikabarkan bahwa kecurigaan Sintong mengarah kepada Prabowo. Hubungan keduanya memang sudah tak akur sejak 1985. Sintong curiga karena Prabowo sering datang ke Dili, menemui Letkol Sjafrie Sjamsoeddin--Wakil Komandan Satgas Intel Kolakops Timor Timur, padahal Prabowo sudah tidak bertugas disana. Selain itu, Prabowo juga sering menemui tokoh kelompok prointegrasi garis keras, seperti Bupati Manatuto, Abilio Jose Osorio Soares.

Sintong Panjaitan merasa ada yang melaporkan kesalahannya kepada Presiden Soeharto. Menurut Sintong, Mabes ABRI pernah memberitahukan kepadanya bahwa pada waktu itu Mabes ABRI belum menyampaikan laporan resmi tentang Peristiwa 12 November di Dili kepada Presiden Soeharto. Namun, memang sudah banyak laporan masuk ke Presiden, berasal dari Prabowo dan Letkol Sjafrie Sjamsoeddin, Wakil Komandan Satgas Intel Kolakops Timor Timur.

Insiden Santa Cruz membawa perubahan bagi persaingan internal tentara. Karena tekanan dunia internasional, ABRI harus bersikap tegas. Maka dibentuklah Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk menuntaskan insiden ini. Mayjen Feisal Tanjung terpilih sebagai Ketua DKP. Sidang DKP memutuskan untuk memberhentikan Mayjen Sintong Panjaitan dari Jabatam Pangdam Udayana. Sedangkan Brigjen R.S. Warouw dicopot dari jabatan Pangkoopskam Timtim dan dipensiunkan dari dinas militer.

Karier militer Mayjen Sintong Panjaitan pun berakhir, Dia memang tidak serta merta dipecat, tetapi mustahil baginya mendapatkan jabatan strategis dan prestisius. Sangat bertentangan dengan ramalan banyak pihak sebelum Insiden Santa Cruz, bahwa Sintong memiliki peluang dengan untuk menjadi Panglima ABRI. Kelak Sintong pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Pangkat yang persis sama dengan Prabowo Subianto. Nasibnya juga sama--difavoritkan untuk jabatan KSAD dan kemudian Pangab, tetapi kariernya harus ditentukan oleh sidang Dewan Kehormatan Perwira.

Enam setengah tahun kemudian, Sintong Panjaitan dan Prabowo Subianto akan bertemu kembali dalam situasi dan kondisi yang sangat berbeda.


☆ Dikutip dari buku Sintong & Prabowo: Dari 'Kudeta L.B. Moerdani' Sampai 'Kudeta Prabowo', A. Pambudi, 2009 ☆

Baik buruk itu suatu pilihan, tercatat dalam dokumen menjadi sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.