Kamis, 28 Maret 2024

Fincantieri Signs Contract To Deliver Two PPAs For Indonesia

⚓ OPVPPA's to Indonesia (Fincantieril)

Fincantieri and the Indonesian Ministry of Defence have signed a 1.18-billion-euro contract, within the framework of collaborative relations initiated by the Italian Ministry of Defence, for the supply of two PPA Units. PPA is a highly flexible ship with an outstanding technological standard. It has the capacity to serve multiple functions, ranging from patrol with sea rescue capacity to Civil Protection operations and first line fighting vessel.

The contract was signed by Pierroberto Folgiero, CEO and Managing Director of Fincantieri, and by the Indonesian Ministry of Defence, in the presence of Dario Deste, General Manager of the Naval Vessels Division.

The ships subject to the order – originally destined for the Italian Navy – are currently under construction and fitting at the Integrated Shipyard in Riva Trigoso-Muggiano.

The interest of the Indonesian Ministry of Defence in PPA Units stems from the Maritime Campaign in the Far East of the Francesco Morosini, the second ship of the Italian Navy’s PPA class, which also stopped over in Indonesia in July 2023. The transaction can catalyze additional synergies in the operational, industrial, and technological fields between the two countries. The Units will be able to support Indonesia in protecting national interests and contribute to the stability of the delicate Indo-Pacific strategic quadrant.

As part of the transaction, Fincantieri will act as the prime contractor towards the Indonesian Ministry of Defence and will specifically coordinate the other industrial partners, including Leonardo, for the customization of the ships’ combat system and the provision of related logistic services. The parties will define the relevant agreements in compliance with the applicable legislation, including that relating to transactions between related parties.

The effectiveness of the contract is subject to the necessary authorizations from the competent authorities. to transactions between related parties.

The multipurpose offshore patrol vessel is a highly flexible ship with the capacity to serve multiple functions, ranging from patrol with sea rescue capacity to Civil Protection operations and, in its most highly equipped version, first-line fighting vessel. There will be indeed different configurations of combat system: starting from a “soft” version for the patrol task, integrated for self-defence ability, to a “full” one, equipped for a complete defence ability. The vessel is also capable of operating high-speed vessels such as RHIB (Rigid Hull Inflatable Boat) up to 11 meters long through lateral cranes or a hauling ramp located at the far stern.

• 143 meters long overall
• Speed more than 32 knots according to vessel configuration and operational conditions
• Crew of about 170 persons
• Equipped with a combined diesel, a gas turbine plant (CODAG) and an electric propulsion system
• Capacity to supply drinking water to land.
 

 
Naval News  

KCR 60 Palindo

⚓ Dengan sentuhan Turkiye First Steel Cutting KCR 60 Palindo (@General Field Marshall Mikhail Kutuzov)

Beredar penampakan kapal KCR (Kapal Cepat Rudal) 60 meter akan di produksi galangan kapal swasta PT Palindo Marine.

Dari media X @General Field Marshall Mikhail Kutuzov, kapal KCR 60 pesanan TNI AL melakukan first steel cutting dijadwalkan pada tanggal 25 Maret kemaren, namun dari pencariaan berita, belum ada satupun yang beredar di internet, kcuali media X.

Dari desain yang terlihat, kapal cepat rudal dimaksud menggunakan meriam kaliber besar 75 mm dan pada rudalnya menggunakan tabung rudal Atmaca buatan Turkiye.

Indonesia akhir2 ini diberitakan banyak memesan alutsista dari negara Turkiye dan juga tertarik dengan kapal cepat produksi negeri yang dipimpin Erdogan, secara sotoy bisa di beritakan kapal KCR 60 yang akan di bangun PT Palindo ini menggunakan teknologi dari negara Turkiye.

Palindo sendiri diketahui telah membangun kapal patroli pesanan TNI AL, namun dari desain terlihat beda, dimana pada senjata utama menggunakan meriam kaliber 40 mm.
 

  💂
Garuda Militer  

Rabu, 27 Maret 2024

Pindad Kerja Sama dengan Dislitbangau terkait Material Double Base Propellant

(Pindad)

Wakil Direktur Utama PT Pindad, Syaifuddin, Direktur Teknologi dan Pengembangan (Dirtekbang) PT Pindad, Sigit Santosa dan Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI Angkatan Udara (Kadislitbangau) Marsekal Pertama TNI Tjatur Pudji Handojo menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) dan perjanjian kerahasiaan (NDA) antara PT Pindad dan TNI AU pada Rabu, 27 Maret 2024 berlokasi di PT Pindad. Perjanjian Kerja Sama yang ditandatangani berkaitan dengan penelitian dan pengembangan material Double Base Propellant untuk Roket tahap III. Kegiatan ini juga dihadiri oleh jajaran Eselon 1 PT Pindad serta jajaran Dislitbangau.

Dalam sambutannya, Dirtekbang PT Pindad, Sigit Santosa menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas kerja sama dengan Dislitbangau yang telah terjalin hingga saat ini. “Terima kasih atas dukungan dari tim ahli Dislitbangau hingga support dari peralatan yang luar biasa lengkap pak. Sangat lengkap menurut kami. Semoga riset ini dapat berjalan dengan sangat baik dan kita bisa menciptakan kemandirian terhadap Propellant. Karena Propellant ini kebutuhannya sangat tinggi pak, terutama dengan berbagai konflik internasional saat ini.” Jelas Sigit Santosa.

Kadislitbangau, Marsma TNI Tjatur Pudji Handojo menyambut baik kerja sama antara PT Pindad dengan dislitbangau. “Maksud dan tujuan kami melaksanakan penandatanganan kerja sama dan juga NDA antara TNI AU dengan PT Pindad dan ini dalam rangka litbang material Double Base Propellant untuk Roket tahap III. Kami juga menyampaikan bahwa Dislitbangau adalah ujung tombak untuk kegiatan penelitian dan pengembangan TNI AU. Dan saya melihat bahwa kerja sama dengan PT Pindad bukanlah sesuatu yang baru karena telah mencapai tahap III saat ini. Dengan adanya kerja sama strategis ini diharapkan PT Pindad dapat memajukan pertahanan negara.” Jelas Marsma TNI Tjatur Pudji Handojo.

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dan ramah tamah. Kegiatan penandatanganan kerja sama antara PT Pindad dengan Dislitbangau diakhiri dengan kunjungan ke fasilitas produksi PT Pindad.

  Pindad  

KRI Diponegoro-365 Latihan Bersama HS Spetsai F-451

Di Laut Mediterania(Dispenal)

KRI Diponegoro-365 yang lebih dulu bergabung di MTF 448, mengucapkan selamat datang kepada kapal perang asal Yunani yaitu HS Spetsai F-453 (Hydra Class) dengan cara mengajak untuk melaksanakan beberapa serial latihan bersama di Area of Maritime Operation (AMO) Zona 1 North, Laut Mediterania, Lebanon, Sabtu (23/03/2024).

HS Spetsai F-453 akan terlibat dalam misi UNIFIL selama 2 bulan sama seperti pendahulunya yaitu HS Limnos F-451. Serial latihan yang dilaksanakan oleh kedua unsur MTF tersebut meliputi, Manuevering Exercise, Mailbag Transfer, Cross-Deck Helicopter Operations dan Photoex. Kegiatan ini bertujuan untuk mempertahankan kesiapsiagaan dan meningkatkan profesionalisme prajurit pengawak serta memberikan familirisasi dan uji coba geladak heli yang ada di setiap kapal yang berbeda.

Komandan Satgas MTF TNI Konga XXVIII-O/UNIFIL, Letkol Laut (P) Wirastyo Haprabu, S.E., D.W.C., menjelaskan bahwa kegiatan ini selain merupakan suatu tradisi yang sangat baik dari Angkatan Laut di seluruh dunia dalam menyambut suatu unsur yang baru bergabung di dalam suatu gugus tugas multilateral, juga diharapkan dapat meningkatkan hubungan bilateral antar kedua angkatan laut.

Inisiatif KRI Diponegoro-365 dalam kegiatan ini adalah guna mewujudkan visi Panglima TNI, Jenderal TNI Agus Subiyanto yaitu TNI “PRIMA” yang salah satunya adalah ADAPTIF terhadap segala perubahan kekuatan sendiri, tuntutan tugas dan spektrum ancaman di daerah operasi sehingga misi dapat dilaksanakan dengan aman dan lancar.a
 

  Pelopor Wiratama  

Selasa, 26 Maret 2024

[Global] Rusia Ungkap Bagaimana AS Memfasilitasi Pembentukan Kelompok Teror Seperti ISIS

👹Pejuang ISIS menembakkan senjata di Aleppo, Suriah. (Foto/AP) 👹

Dalam upaya mereka menghilangkan kecurigaan terhadap Ukraina dengan menyalahkan kelompok Negara Islam (ISIS) atas serangan teroris di Balai Kota Crocus, para ahli strategi politik Amerika Serikat (AS) yang menciptakan taktik ini justru menyudutkan diri mereka sendiri.

Hal itu diungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Rusia Maria Zakharova saat mengomentari serangan teror di Moskow.

Sama seperti campur tangan AS di Afghanistan pada tahun 1980-an yang membuka jalan bagi kebangkitan al-Qaeda, invasi AS tahun 2003 dan pendudukan de facto di Irak mengakibatkan terbentuknya ISIS,” papar juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova, dilansir Sputnik.

Penilaian itu juga disampaikan Hasan Abdullah, ilmuwan politik di Global Security & Strategy Institute dan pakar militansi Islam.

Abdullah mencatat tindakan AS di Afghanistan selama intervensi militer Soviet menghasilkan “lingkungan yang kondusif yang diciptakan untuk munculnya banyak kelompok” yang nantinya akan “beroperasi di negara-negara tetangga juga.

Anda juga bisa berbicara tentang al-Qaeda. Al-Qaeda adalah salah satu kelompok yang muncul dari sana. Jadi, bisa dibilang lingkungan yang tercipta pada akhirnya membuka jalan bagi al-Qaeda juga,” papar dia.

Upaya Amerika Serikat untuk melakukan perang proksi melawan Uni Soviet di Afghanistan mengakibatkan munculnya “generasi Mujahidin baru dengan pola pikir Jihadi yang masih menghantui perdamaian dunia,” menurut Syed Fakhar Kakakhel, jurnalis senior yang berbasis di Peshawar yang mengkhususkan diri dalam meliput politik dan militansi di Afghanistan dan Pakistan.

Kelompok militan Asia Tengah seperti Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM) dan Gerakan Islam Uzbekistan (IMU) dibentuk berdasarkan inspirasi dari Jihad Afghanistan,” ungkap Kakakhel.

Saat itulah para pejuang Arab masuk ke wilayah ini, di antaranya adalah Syeikh Saudi Osama Bin Laden, pendiri al-Qaeda. Al-Qaeda sama yang membalas Amerika Serikat dengan serangan teror 9/11 yang menewaskan ratusan warga Amerika yang tidak bersalah,” papar Kakakhel.

Apa yang disebut Perang Melawan Teror yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya di dunia setelah serangan teroris 9/11, termasuk invasi ke Afghanistan pada tahun 2001 dan invasi ke Irak pada tahun 2003, membuka peluang baru.

Invasi AS, meskipun ilegal, menyebabkan radikalisasi banyak kelompok dan individu di Irak yang, seperti dikatakan Abdullah, “merasa bahwa sudah menjadi kewajiban agama mereka atau, dalam kasus banyak kelompok sekuler, tugas nasionalis untuk melawan penyerbu."

Invasi AS ke Irak disebabkan (dugaan yang akhirnya salah mengenai) kehadiran senjata pemusnah massal (WMD) yang menyebabkan (Pemimpin al-Qaeda Irak) Abu Musab Al Zarqawi pindah ke Irak dan mulai berperang melawan pasukan Barat di Iraq. Dialah yang membangun kamp pelatihan di Suriah sehingga mengganggu stabilitas seluruh wilayah,” ungkap Kakakhel.

Dia menjelaskan, “Kemudian terungkap bahwa tidak ada senjata pemusnah massal di Irak.

Hal ini disebabkan oleh perang di Afghanistan dan Timur Tengah oleh Barat sehingga organisasi militan seperti al-Qaeda, ETIM, IMU, dan ISIS telah dibentuk, sehingga membahayakan perdamaian global,” papar dia.

Penarikan pasukan AS dari Afghanistan pada tahun 2021 tidak banyak memperbaiki keadaan di kawasan, terutama karena pasukan AS yang melarikan diri meninggalkan peralatan dan peralatan militer senilai miliaran dolar.

Negara-negara tetangga Afghanistan percaya bahwa sekarang berbagai organisasi militan menggunakan senjata ini untuk melawan mereka. Kami telah menyaksikan peningkatan besar serangan di Pakistan dan Iran oleh organisasi ekstremis agama yang dilengkapi dengan senjata terbaru ini,” ujar Kakakhel.

Sementara itu, Abdullah mengamati Amerika Serikat tampak menutup mata terhadap munculnya organisasi teroris di dunia karena kelompok, perusahaan, dan lobi yang kuat di Amerika mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan dan perang.

Dalam banyak kasus, kami menemukan adanya konvergensi kepentingan antara organisasi-organisasi teroris dan elit penguasa Amerika. Ketika Anda melihat konteks tersebut, dapat dimengerti mengapa konvergensi kepentingan ini terkadang membuka jalan bagi Amerika untuk membiarkan beberapa organisasi teroris ini berkembang biak,” ungkap dia.

Mengenai penolakan Amerika Serikat terhadap usulan Rusia pada tahun 2015 untuk membentuk front global anti-ISIS, Abdullah berspekulasi, “Amerika tidak ingin Rusia menerima pujian apa pun.

Usulan Rusia bisa saja sangat berperan dan Amerika tidak ingin Rusia mendapat pujian karena memprakarsai usulan tersebut dan membentuk koalisi yang dapat bermanfaat bagi komunitas internasional secara luas. Saya pikir itu alasan mendasarnya,” ungkap dia.

Abdullah menunjukkan kecenderungan yang aneh, “Meskipun korban terbesar ISIS sebenarnya adalah umat Islam, penerima manfaat terbesar dari aktivitas kelompok teroris tersebut sebenarnya adalah sejumlah negara Barat.

Selain itu, sejumlah tokoh ISIS ternyata adalah orang-orang yang memiliki koneksi dengan organisasi-organisasi intelijen Barat atau bahkan yang pernah menjadi bagian dari berbagai pasukan khusus atau organisasi intelijen Barat,” pungkas dia. (sya)

  👹 sindonews  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...